Wada’ dalam bahasa lokal masyarakat Manus adalah ketentuan suatu pristiwa yang benar-benar terjadi baik suka atau tidak suka, terima atau tidak terima berdasarkan ketentuan sang Empunya kehidupan, Pada kepercayaan masyarakat lokal, Wada’ ini biasanya berkaitan dengan kematian, tanpa melihat sebab dari sebuah kematian, kalau sudah sebut Wada’ , masyarakat lokal percaya bahwa kematian itu sudah diatur oleh yang Maha Kuasa, dalam kosa kata Bahasa Indonesia, ada beberapa definisi kata yang mirip kata Wada’ namun masih bersifat kompleks seperti kata Takdir, garistangan, suratantangan dll.
Berikut ceritra rakyat temurun tentang wada' dari seorang anak, ceritra ini bersifat fiktif dan tidak untuk diperdebatkan, mari ambil hikmanya saja!
WADA' MATA LE NGIS DE WAZA
![]() |
Keduanya penuh Sukacita serta kebahagiaan karena sebentar lagi mereka akan diberikan karunia anak pertama mereka.
Hari demi hari mereka lalui dengan penuh kasih sayang antara satu dengan yg lain, si suami sangat mencintai istrinya begitu pula dengan istrinya sangat mencintai dan menyayangi suaminya mereka saling mengasihi satu sama lain, apapun yang diinginkan istrinya suami akan berusaha untuk mendapatkanya, begitu pula sebaliknya.
Pada suatu ketika si istri tiba-tiba memgidam dan ingin memasak dan makan ikan air tawar, Karena rasa cinta dan kasih sayang terhadap istrinya yang sedang sedang hamil anaknya, si suami pun mengiayakan permintaan isterinya itu.
Hari mulai gelap si suami bergegas menuju ke sungai besar yang berada di dekat kampung itu. Pada waktu itu belum ada senter atau lampu penerangan yang bersumber dari listrik, si suami menggunakan obor yang terbuat dari kapas yg dibaluri tumbukan buah kemiri.
Mulai dari batu yg ukuran kecil sampai yg besar ditengoknya satu per satu, namun sayang sekali sejauh perjalanannya Dia tidak mendapatkan apa-apa. Dia pun merasa kesal dan lelah lalu memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah batu besar yang berada di tengah sungai itu, diatas batu itu ada rimbunan daun pohon beringin besar. Angin sepoi meniup membawa uap air dingin seakan menambah cekamnya udara malam hingga menusuk kedalam sum-sum tulangnya, dia mengambil kayu-kayu kering disekitar dan menyalakan api, senyap, sunyi, sepi, dan hanya terdengar samar bebrapa suara burung malam di telinganya, serasa tempat itu sangat nyaman untuknya. sambil bersandar di Batu diapun mencoba untuk memejamkan matanya sejenak, tak sengaja Dia tertidur, pada tidur singkatnya itu dia bermimpi dalam Mimipinya, Pepohonan dan Batu- batu disekelilingnya saling Berbicara Satu sama Lainnya, dia hanya mengonggak-anggukan kepalanya, merasa sangat asing dan ketakutan dengan situasi itu, mimpi seolah-olah seperti kenyataan. Sangat terdengar jelas dalam telingannya topik pembicaraan mereka
Purus, soo tara toe too Ghau? Tana le ghazu Rebak
Wale le purus :
Aku manga meka, too kout meu!
Pohon beringin, kenapa engkau Tidak Berangkat? Tanya kayu Rebak
Pohon Beringin Menjawab:
Saya Sedang Ada Tamu. Tidak apa-apa Kalian saja yang pergi.
Setelah Selang Beberapa saat kemudian, kayu Rebak kembali dan Memanggil pohon beringin lagi.
Purus... purus..purus e...
Ata rona, landi mata le Ngis de waza ko..
Itu,i wadan ko
Beringin.. Bringin..Bringinn..
laki-laki, hanya saja Dia akan mati karena gigi Buaya..
Itulah Wada'
Si Bapak tadi terbangun dan situasi berubah seakan semunya terbawah angin, perasaanya berubah menjadi takut dan getaran, dia menatap sekelilingnya dan kebingungan karena semuanya biasa-biasa saja sudah tidak seperti dimimpinya lagi, mengingat hal itu dalam mimpinya, cepat-cepat bergegas pulang ingin menceritrakan hal itu kepada Isterinya,
Benar saja, Sesampainya Dirumah....
Lanjud Part 2.
Komentar
Posting Komentar