Ceritra Ini Memiliki Berbagai Versi. Mohon Maaf Apabila Terjadi perbedaan Versi. Mohon tidak untuk Diperdebatkan..!
Mari Kita ambil Nilai dan Hikmanya Saja.
Alkisah suatu ketika di sebuah kampung hiduplah seorang anak yatim yang Bernama Ringgi.
anak itu sangat sedih dan serba kekurangan. Hari-harinya sangat menyedihkan karena harus bekerja banting tulang untuk menafkahi diri dan neneknya. Oleh teman-teman sekampungnya dia kerab dipanggil "Anak Lalo" (Anak Yatim). Pada waktu itu "Anak Lalo" dianggap anak yang hina dan tak pantas untuk bermain dengan teman-teman seumurannya di kampung itu. Tak jarang bagi Ringgi mendengarkankan bully dan bahan caci maki dari teman-temanya.
Bahkan Kadang kadang Dia Disetarakan Dengan Binatang. Sungguh malang Nasibnya.
Kepergian dari kedua orangtua Ringgi semenjak dia masih berumur 2 tahun sepertinya menorehkan luka yang dalam pada batinnya dan membuat Dia bertumbuh dan berkembang menjadi anak yang tidak percaya diri. Sejak berusia 2 tahun Tahun Ringgi diasuh oleh neneknya yang bernama Ene' Ewang ( Nenek Ewang) dan kini sudah sakit-sakitan karena sudah lansia.
Berbeda dengan anak-anak yang lain yang seusia dengannya yang setiap hari hanya bermain, sedangkan Si Ringgi harus bekerja mencari makan untuk bertahan hidup. Dia tidak memiliki apa-apa. Ringgi dan Ene Ewang tinggal di sebuah gubuk reot di pinggir kampung itu.
Kata orang-orang dulu keluarga Ringgi adalah keluarga yang cukup berada di kampung mereka, namun setelah insiden kebakaran rumah yang merenggut harta warisan dan nyawa kedua orang tuanya kini tidak menyisakan apa-apa.
Bagi Ringgi dunia ini sungguh tidak adil. Jangankan menghadapi realita, bermimpi saja sangatlah sulit baginya.
Ketika musim panen tiba, anak itu rela bekerja dari satu sawah ke sawah yang lain milik warga kampung dengan tujuan untuk membantu meringanka pekerjaan apapun dan mengharapkan imbalan seberapa ada atau seberapa kasih dari warga kampung. Hari demi hari Ringgi lakukan itu. Takala Dia Sangat Menyayangkan tenaganya ketika upah yang diterimanya tidak sepadan dengan pekerjaannya. Hingga pada suatu ketika dia sempat putus asa.
" Ole Morin...Eme tara Dedek Tana Agu lino ghoo latang Ise Kaut, pele Soon tara Mangan aku See Tanan Lino ghoo?
Pele Soo Nakeng Agu Weki Daku? Morin Aku Gho,o Rendak Terus Lise.. Daat pande Daku apa? Ndekok daku apa? "
"Oh Tuhan... jika engkau menciptakan langit dan bumi ini hanya untuk mereka, lalu untuk apa aku berada disini? untuk apa engkau ciptakan ragaku jangan selalu hina di mata mereka? Salahku apa ? dosaku apa Tuhan?"
Pipi yang polos dan mungil pun kini bersimbah air mata yang tak terbendung derasnya. Ringgi sangat menyesal menjalankan pekerjaan di hari itu karena dia tidak mendapatkan apa-apa. Semua padi milik warga kampung telah selesai dipanen, semua mereka telah kembali ke kampung. Namun si anak mungil ini masih saja berada di sawah.
Dia sangat enggan pulang ke rumah karena tidak membawa sebulir padipun. Karena kecapean Ringgi pun tertidur di atas jerami padi di dekat pondok. Dalam tidurnya Dia bermimpi bertemu dengan kedua orangtuanya. Kedua orang tuanya berpesan agar dia membawa pulang semua gabah (Lapa' woza) yang telah dibuang oleh pemilik sawah. Tak lama berselang ia pun terbangun dari tidurnya. sejenak ia menatap ke kiri dan ke kanan. Dikiranya itu adalah sebuah kenyataan namun bertemu dengan kedua orangtuanya hanya dalam mimpi.
Sambil menangis dia pun memberes dan mengumpulkan semua gabah padi itu dan dimasukkannya ke dalam sebuah Bimbol (jenis karung yang terbuat dari kain dan berukuran besar
Satu Bimbol penuh jumlahnya. Tak mau menunggu lama dia pun memanggulnya dan membawa gabah itu pulang ke rumah.
Esokan harinya dia bekerja lagi dengan motivasi yang sama sambil berharap diberikan bantuan padi Seberapapun dari warga kampung. Setelah panen usai seperti biasa mengumpulkan semua gabah padi dan membawanya pulang. Hari demi hari ia jalankan aktivitas yang sama hingga musim panen pun berlalu. Di rumahnya yang reot, tumpukan gabah padi telah mengelilingi tempat tidur mereka. Pada suatu ketika Ringgi berniat untuk menjemur semua gabah padi miliknya. Warga kampung yang tak sengaja lewat depan rumah mereka tawa terbahak- bahak melihat dia menjemur gabah padi tersebut.
"Ringgi.. angen ata Wedol Ghau ghoo? Pari Ata Soo lapa woza Gho?
Ringgi.. apakah kau sudah gila? mengapa engkau menjemur gabah padi?
Cacian serta hinaan terus dilancarkan padanya Oleh warga kampung, Namun baginya itu hal yang lumrah dalam kehidupannya.
Pada saat itu Dia Tdk memikirkan untung dan Rugi. Ringgi hanya memenuhi apa yang telah diperintahkan oleh kedua orang Tuanya dalam mimpi tanpa mengetahui apa tujuan akhirnya. 3 hari lamanya dia menjemur semua gabah padinya. Melihat gabah padi itu sudah kering, dia mengambil Alu dan lesung dan perlahan menumpuknya. Sebuah keanehan pun terjadi.
Gabah padi yang bagi orang-orang Kampung tidak bisa menghasilkan beras, Kini butiran-butiran beras berhamburan ketika dia mengangkat alu pada lesungnya. Ringgi pun terkejut akan keanehan ini, hal inilah yg akan membakar semangatnya nya menumbuk gabah itu kilo demi kilo. Tak hanya itu dadak yang dihasilkan oleh gabah padi itu sangatlah halus. Tak kalah ketika hasil tumbukan nya sudah penuh Ringgi harus melepaskan alunya untuk menampi demi memisahkan dedak dan berasnya. Tak lama berselang Ene Ewang pun keluar rumah. Dia terkejut melihat gundukan 2 karung penuh berisi beras dan dedak. Keanehan itu membuat Ringgi dan Ene Ewang, Terdiam tanpa kluar kata apapun. Di waktu yang berbeda ene ewang memberitahu Ringgi agar tidak menceritakan hal ini kepada warga kampung.
Hari pun berlalu hingga pada suatu hari Ene Ewang Lomir ( Hasrat Atau Keinginan Untuk Mengonsumsi Sesuatu, Biasanya Berupa Makanan) Ikan Ta'a. Esok paginya Ene Ewang menceritakan hal tersebut kepada Ringgi. Karena rasa cinta dan kasih sayang Ringgi terhadap Neneknya, Ringgi pun mengiyakan permintaan tersebut.
Keesokan harinya si Ringgi Menyiapkan diri Menuju ke kota. Dia tidak membawa uang, Dia menuju kota yang bernama kota Borong hanya membawa sekarung dedak saja. Dalam benaknya dengan menjual dedak ini saya bisa menghasilkan uang untuk memenuhi permintaan Ene' Ewang.
Dalam perjalanan dia kerap kali dihina bahkan diusir agar tidak Segerombol dengan warga kampung yang pergi ke kota untuk menjual beras.
"Ringgi, Neka Lako Gu Ghami ata pika Dea'. Ghau Ata Pika Ba'o, Pande Ritak.!
Deu-Deu pu le Golo, Too lau Kota, Too kaut pika Ba'o." Musi Ghau!
" Ringgi Kamu Tidak Usah Jalan Bersama Kami yg Jual Beras. Kamu hanya Menjual Dedak. Bikin Malu.
Jauh2 Dari Kampung menuju ke kota hanya untuk menjual Dedak.
Jalanlah paling Belakng! "
Ringgi Hanya Diam Saja memilih jalan Paling Belakang Dari Mereka.
Sesampainya di kota terlihat sepanjang jalan banyak orang menjual beras. Harga beraspun menurun drastis. Uniknya di antara mereka hanya ringgi sendiri yang menjual Dedak. Tak tanggung-tanggung Baba ( Julukan Masyarakat Setempat untuk Orang China) memanggil ringgi dan melakukan negosiasi harga. Dedak milik Ringgipun laku. Dia sangat bahagia menerima sejumlah uang yang diperolehnya. Tak lama berselang dia pun menuju ke pasar untuk membeli ikan.
Di pasar dia membeli seekor ikan yang ukurannya lumayan besar.
Dia pun bergegas pulang menuju ke kampung. Berbeda dengan warga kampung yang seperjalanan dengannya, harus nginap di kota karena beras milik mereka belum laku terjual.
Di rumah Ene' Ewang menyambut Ringgi dengan riang gembira. Tak menunggu lama, Ene' Ewang langsung memasak ikan bawaan Ringgi. Masakannya sangat enak. Setelah makan mereka pun menuju ke tempat tidur untuk tidur.
Dalam tidurnya ringgi bermimpi, didatangi kedua orang tuanya dan menyuruh Rnggi untuk menanam tulang-belulang dari ikan yang mereka makan..
Besok kan harinya si linggi menceritakan mimpinya itu kepada Ene Ewang. Ene Ewangpun meyakinkan Ringgi untuk Menanamnya. Ringgi pun menanam tulang itu di belakang rumah. Keajaiban besar pun terjadi. Dari semayaman Tulang ini tumbuhlah Sebuah pohon. Pohon itu tidak besar namun semua Lembaran Daun seketika Berubah Menjadi Lembar Rupiah..Mulai Dari 10 rbu hingga 100 Ribu.
Ringgi Sempat Tdk percaya Dgn hal itu, Namun..Dalam Mimpinya, Kedua Orang Tuanya Justru Menyuruh Ringgi Untuk Menggunakan Uang- uang dari Daun Pohon Tsb. Ringgi pun mengambilnya dan menggunakan uang itu untuk membeli semua kebutuhan mereka. Tak ada satu orang warga pun yang mengetahui tentang hal itu. Namun rasa kecurigaan mereka terhadap Ringgi, yang selalu memenuhi semua keinginannya membuat mereka penasaran dari manakah sumber uang yang diperoleh Ringgi. Rasa penasaran mereka pun terjawab ketika salah seorang warga memberanikan diri untuk menemui ringgi. Karena kepolosannya yang tinggi pun menceritakan semua hal yang terjadi kepada warga. Dia lupa akan pesan dari kedua orang tuanya lewat mimpi agar tidak menceritakan hal tersebut kepada siapapun. Akhirnya sebagian Warga mengetahuinya dan Memberi nama Pohon tersebut dengan Pu'un Ringgi (Pohon Uang). Karena iri dan sakit hati terhadap ringgi beberapa warga berniat untuk menebang pohon tersebut untuk mendapatkan uang. Hingga pada suatu malam warga pun secara diam-diam menuju ke tempat pohon uang tersebut.
Keanehan pun terjadi. Pohon uang tersebut berhasil ditebang, namun tidak jatuh ke tanah melainkan terbang tinggi menuju langit. Menurut Mitos Pohon itu Jatuh Di sebrang lautan. Dari Peristiwa Inilah mendatangkan Stigma masyarakat Dahulu, Bahwasanya.. Jika Ingin Mendapatkan Uang, Maka Pergilah Kesebrang lautan.
Sekian.
Ceritra ini Adalah Mitos berasal dari Tanah Manus, Dan merupakan Ceritra Yg Bersifat Fiktif, namun Sarat Nilai Yg terkandung Didalamnya terlebih jika Dilaitkan Dengan Kehidupan Manusia.
Penutur Ceritra : Bpk. Damianus Samur.
Penulis : Kristo sapang
Komentar
Posting Komentar